Automatic Feeding System pada Kolam Produksi Udang Vaname (Pasific White Shrimp)

Author: Allen Davis, Ph.D. Carter Ullman, M.S. Melanie Rhodes, M.S. Romi Novriadi Anneleen Swanepoel

Penelitian menunjukkan bahwa automatic feeding lebih efisien dibandingkan hand feeding

Peningkatan efisiensi manajemen pemberian pakan di tambak udang komersil sangat penting untuk meningkatkan produktifitas dan keuntungan, serta dapat meminimalisir dampak lingkungan. Keberhasilan budidaya udang secara berkelanjutan sangat bergantung pada peningkatan manajemen pakan dan pengurangann tenaga kerja selama prosees produksi, terutama pada saat pemberian pakan.

Secara umum, petambak udang di Amerika memberi makan udangnya sebanyak dua kali dalam sehari, hal ini dikarenakan pemberian pakan pada tambak yang besar dan luas akan membutuhkan waktu dan tenaga yang cukup besar jika diberikan terlalu sering. Di Asia, tenaga kerja cukup murah dan produksi masih dalam skala yang lebih kecil sehingga memungkinkan dilakukan pemberian pakan dengan frekuensi yang lebih sering. Pada kedua kasus, banyaknya pakan yang diberikan akan disesuaikan dengan input pakan yang masuk yang dilihat dari pengukuran tidak langsung seperti evaluasi isi usus atau penggunaan anco.Namun pada semua kasus, belum ada pengukuran pasti mengenai feed intake maupun feedback dari udang mengenai kebutuhan pakan.

Perpindahan ke Automatic Feeder

Semakin banyak jumlah pakan yang dikonsumsi, maka performa pertumbuhan udang juga semakin meningkat. Hal ini dimungkinkan oleh kebiasaan makan udang serta faktor fisik yang mempengaruhi kebutuhan pakan. Udang merupakan benthic grazer yang secara eksternal akan mengunyah makanan mereka terlebih dahulu dan mengkonsumsi pakan mereka secara sedikit demi sedikit selama sepanjang hari. Krakteristik ini membuat cukup masalah karena banyak nutrisi penting yang akhirnya larut dalam air.

Secara turun-temurun, para petambak udang mengandalkan pakan dengan water stability yang tinggi sehingga nutrien tidak mudah larut, dengan demikian dapat mengatasi kebutuhan pakan udang dalam jangka waktu yang panjang. Meskipun demikian, penelitian menunjukkan bahwa semakin lama pakan terpapar air maka semakin banyak nutrisi penting dalam pakan yang hilang dan larut dalam air (leaching). Sebagai penelitian mengenai perbandingan pertumbuhan udang yang diberikan pakan yang telah mengalami leaching dengan berbagai variasi waktu (0, 0.5, 1, 2, 4 jam) menunjukkan pengurangan pertumbuhan udang secara signifikan setelah pakan udang mengalami leaching lebih dari satu jam. Berdasarkan hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pakan memiliki nilai yang lebih tinggi jika memiliki waktu yang lebih singkat terpapar air, yang artinya pemberian pakan secara sedikit namun sering akan lebih baik dibandingkan pemberian pakan secara banyak dan jarang.

Logikanya, industri-industri besar sebaiknya mulai berpindah menggunakan automatic feeding yang memungkinkan pemberian pakan dalam jumlah kecil dengan frekuensi yang lebih sering. Meskipun dapat meminimalir efek leeching dan dapat mengatasi kebutuhan pakan udang dalam jangka panjang, hal ini belum dapat mengatasi permasalahan feeding intake.

Pada ikan, teknologi adaptasi yang disebut juga demand feeding telah digunakan selama beberapa tahun dengan keberhasilan yang cukup baik. Sederhananya, teknik ini mengamati pola makan ikan terhadap pakan terapung dimana feeder akan memberikan pakan berdasarkan permintaan pakan ikan yang dilihat dari banyaknya sisa pakan pada permukaan air. Sistem pakan otomatis ini menggunakan pengenalan citra yang di batasi situasi permukaan air dimana pakan dan ikan masih dapat terlihat. Teknologi otomatis ini bergantung pada sistem visual, sehingga tidak dapat digunakan pada sistem produksi udang.

Teknologi Akustik

Namun, baru-baru ini pada produksi udang telah diterapkan sistem akustik. Sistem AQ1 (Tasmania dan Australia) baru-baru ini mengembangkan sistem kontrol pada pakan berbasis sensor pertama di dunia yang berlaku untuk udang (Gambar 1). Sistem pakan umpan balik ini menggunakan teknologi sonik untuk mengukur intensitas pemberian pakan.

Gambar 1. Konsep Sistem AQ1

Sistem sound-feeding memiliki algoritma penyaringan yang kompleks untuk menganalisis sound-feeding dari udang dan Adaptive Feeding Algorithms © untuk mengontrol output pakan agar sesuai dengan intensitas pemberian makan. Sistem ini dilengkapi dengan sensor sonik, suhu, dan oksigen terlarut (DO) yang secara otomatis mencatat informasi real-time ke komputer yang terhubung ke jaringan. Hal ini memungkinkan observasi permintaan pakan secara real-time berkorelasi dengan waktu dan pergeseran parameter kualitas air (suhu dan oksigen terlarut).

Sistem ini telah diinstal beberapa tambak komersil di berbagai teknologi produksi udang mulai dari intensif hingga superintensif. Monitor akustik ini memungkinkan aktivitas makan udang untuk dimonitor sehingga didapatkan pengaturan pakan secara real-time berdasarkan permintaan. Hal ini berarti aplikasi pakan akan ditingkatkan selama masa pakan aktif. Seperti yang diharapkan, peningkatan akan bervariasi namun terbukti telah dapat meningkatkan pemanfaatan pakan udang dan tingkat pertumbuhan udang di berbagai teknologi. Peningkatan global berdasarkan intensitas dirangkum dalam Tabel 1, hal tersebut menunjukkan fleksibilitas sistem ini.

Tabel 1. Ringkasan peningkatan produksi udang selama satu siklus produksi penuh seperti yang dilaporkan oleh AQ1

Growth (%) FCR (%) Survival (%) t/ha (%)
Tambak Semi Ekstensif

(8-15 PL/m2)

18.6 25.1 23.0 31.1
Tambak Semi Intensif

(15-40 PL/m2)

34.9 18.3 14.5 36.0
Tambak Intensif

(20-120 PL/m2)

16.9 15.2 3.0 15.8
Pertumbuhan Rata-Rata 23.5 19.5 13.5 27.6

Karena teknologi ini memiliki banyak potensi, kami memulai serangkaian penelitian untuk mengevaluasi penggunaan automatic feeder untuk meningkatkan jumlah pemberian makan seperti sistem AQ1 yang secara dinamis menyesuaikan input pakan dengan permintaan udang. Dalam penelitian terbaru kami, kami membandingkan strategi manajemen pakan dalam budidaya tambak udang putih Pasifik (Litopenaeus vannamei) untuk mengevaluasi pengaruh feeding rate terhadap kinerja pertumbuhan, produksi, kualitas air dan pengembalian keuntungan.

Set-up Penelitian

Penelitian ini dilakukan selama 13 minggu di Pusat Budidaya Laut Claude Peteet, Gulf Shores, Alabama 16 pada 0,1 ha tambak dengan padat penebaran 38 udang/m2 (berat awal 0,036 gram). Penelitian ini menggunakan empat perlakuan dengan pemberian pakan standart (SFP) yang didasarkan pada asumsi pertumbuhan, FCR, dan asumsi kematian. Perlakuan yang digunakan adalah dengan pemberian pakan secara manual sebanyak 2 kali sehari (8 pagi dan 4 sore) (SFP), pemberian pakan dengan automatic feeder dengan pengatur waktu sebanyak 6 kali pemberian pakan (8 pagi, 10 pagi, 12 siang, 2 siang, 4 sore dan 6 sore) dengan penambahan pakan SFP sebanyak 15 dan 30% (Timer 15 dan Timer 30) dan yang terakhir dengan menggunakan automatic feeder sistem akustik (AQ1) dengan waktu pemberian pakan antara pukul 7 pagi dan 7 malam hingga batas maksimum 15 kg/ hari atau 150 kg/ha/hari.

Semua kolam perlakuan diberi pakan Zeigler Raceway 1,5 mm selama 15 hari pertama kemudian Zeigler SI-35 2,4 mm untuk waktu penelitian yang tersisa. Semua kolam diberikan jumlah pakan yang sama selama empat minggu pertama, namun untuk perlakuan automatic feeding dengan pengatur waktu dan automatic feeding AQ 1 diberikan pakan sebanyak 6 kali sehari dimulai dengan minggu ketiga, dan AQ1 mulai mengkontrol pemberian pakan sendiri mulai dari minggu ke lima.

Gambar 2. Jumlah pakan (kg/ha) dan produksi (kg/ha) selama 16 minggu penelitian

Hasil

Hasil penelitian selama 13 minggu disajikan pada Gambar 2 dan 3. Bobot individu pada akhir penelitian dengan 4 perlakuan (SFP, Timer 15, Timer 30, dan AQ1) masing-masing sebesar 19.7, 25.1, 27.25 dan 31 gram. Hasil tersebut menunjukkan adanya peningkatan bobot udang secara signifikan (Gambar 3). Input pakan juga menunjukkan peningkatan yang signifikan yaitu antara pemberian pakan SFP dengan pemberian pakan sebanyak 2 kali sehari secara manual (5.250 kg/ha) dibandingkan dengan sistem AQ1 (900.2 kg/ha). Selain itu, tidak terdapat perbedaan yang nyata pada survival rate (58.5-63.9%), FCR (1,.07-1.24) dan harga pakan ($1.04-$1.20)

Pada kualitas air, tidak didapatkan hasil yang berbeda nyata selain DO, karena perlakuan AQ1 memiliki DO yang lebih rendah dibandingkan perlakuan yang lain. Rendahnya DO pada perlakuan AQ 1 (<3.0 mg/L) disebabkan oleh input pakan yang lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan lain. Gambar 4 menunjukkan korelasi antara rendahnya DO dengan peningkatan input pakan total.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa peningkatan jumlah pemberian pakan harian khususnya dengan menggunakan sistem pemberian pakan otomatis, dapat meningkatkan masukan pakan sehingga asupan dan pertumbuhan udang juga meningkat yang akhirnya dapat meningkatkan produksi uudang L. vannamei.Berdasarkan pengamatan dan penelitian yang telah dilakukan, pemberian pakan dengan automatic feeding yang didasarkan pada permintaan makan memungkinkan adanya peningkatan input pakan tanpa menyebabkan over feeding. Karena sistem AQ1 mengelola input pakan secara instan, ia akan merespon aktivitas makan udang tanpa membuang pakan. Dengan demikian, dapat meningkatkan konversi dan pertumbuhan pakan. Gabungan peningkatan input pakan, peningkatan FCR dan peningkatan pertumbuhan akan menyebabkan peningkatan efisiensi ekonomi yang pada gilirannya akan dengan mudah mengimbangi biaya peralatan.

Mengingat bahwa semua teknologi ini mengarah pada peningkatan input pakan, kita juga harus mempertimbangkan efek pada kualitas air dan karakteristik produksi. Masukan pakan yang lebih tinggi membutuhkan peningkatan oksidasi atau tingkat aerasi yang lebih tinggi. Di fasilitas kami, kapasitas aerasi tetap sehingga ketika input pakan meningkat dari hari kehari menyebabkan nilai DO yang rendah yaitu berada di bawah 3 ppt (Gambar 4). Hal ini menunjukkan bahwa, interaksi manajemen pakan dan kualitas air juga perlu untuk dipertimbangkan dengan cara mengelola semua sumber polutan.

Hal lain yang harus dipertimbangkan adalah lama masa dan ukuran udang saat panen. Dalam penelitian kami, waktu yang diperlukan untuk panen menjadi berkurang karena terjadinya peningkatan pertumbuhan hampir 2 kali lipat. Bahkan jika kita menginginkan untuk memanen udang dengan bobot 20 gram, kita dapat menjalankan siklus produksi 60 hari daripada siklus produksi 90 hari dengan bobot 35 gram. Secara keseluruhan dapat dikatakan bahwa ketika teknologi baru telah diadopsi, maka harus dilakukan penyesuaian juga pada prosedur operasional  untuk mengakomodasi perubahan dalam operasi.

Perspektif

Hasil penelitan kami menunjukkan bahwa peningkatan input pakan, aplikasi dari teknologi adaptif dan pengelolaan SDM untuk pemberian pakan harus dipertimbangkan untuk menerapkan teknologi terbaru. Berdasarkan hasil penelitian kami dengan menggunakan sistem otomatis, kami akan memilih untuk meninggalkan sistem manual dengan pemberian pakan menggunakan tangan dan beralih kepada sistem otomatis yang lebih efisien dan menyesuaikan sistem produksi dengan teknologi yag baru.

Sumber:

Automated feeding systems in pond production of Pacific white shrimp

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to Top