Menentukan Kawasan Konservasi Laut

Studi penyebaan juvenil ikan dilakukan untuk mengetahui jarak dan ukuran optimal konservasi laut

Kawasan konservasi laut yang dimaksud adalah bagian laut yang tidak lagi dilakukan aktivitas penangkapan ikan (sudah dilakukan pelarangan). Kawasan ini berfungsi untuk meningkatkan keberlanjutan terumbu karang dengan cara melakukan pencegahan penangkapan yang berlebih serta meningkatkan kelimpahan dan keragaman ikan. Agar cara ini efektif, ukuran ikan harus disesuaikan dengan cara memperhitungkan jarak perjalanan yang dilakukan juvenil, dihitung dari ketika induk melakukan pemijahan.

Para Ilmuan di Lembaga Oseanografi Woods Hole (WHOI) bersama dengan peneliti dari Australia, Prancis dan Arab Saudi telah berhasil mengukur jarak penyebaran dari dua spesies ikan terumbu karang di atas 3.000 mill persegi luas perairan – seluas Taman Nasional Yeloowstone. Penelitian ini kemudian dipublikasikan ke dalam jurnal Nature & Evolution pada tanggal 8 Mei 2017 dan tercatat sebagai penelitian penyebaran larva terbesar dan terlengkap yang pernah dilakukan serta memiliki implikasi penting untuk mengetahui ukuran dan jarak kawasan konservasi laut.


Juvenil Ikan Nemo dan Kupu-kupu

Perhitungan Ukuran

Kawasan konservasi laut dapat dibuat dengan berbagai bentuk dan ukuran. Namun jika kawasan konservasi terlalu kecil, maka kawasan tersebut tidak akan cukup untuk menampung populasi larva, sedangkan jika terlalu besar maka larva hanya akan tinggal di dalam batas-batas daerah konservasi tanpa berkontribusi pada perikanan di sekitarnya. Hal seperti ini harus diperhatikan untuk memperbaiki pengelolaan perikanan.

Untuk memperkirakan penyebaran ikan sebelumnya, para ilmuan mengandalkan pendekatan genetika populasi dimana genetika populasi masih mempunyai keterbatasan untuk mengukur penyebaran ikan pada skala ruang dan memperkirakan waktu yang relevan di kawasan konservasi laut. Baru-baru ini, ahli ekologi beralih dengan menggunakan komputer yang bisa memperlihatkan model arus air untuk melacak penyebaran ikan melalui virtual ocean. Menurut Simon Thorrold, seorang rekan penulis dan ilmuan senior di WHOI, pendekatan ini juga masih memiliki keterbataan karna belum ada cara untuk memverivikasi keakuratan model arus air dengan bentuk yang sebenarnya. “Perangkat lunak ini bisa menghasilkan banyak grafik, namun belum bisa dilakukan pengujian keakuratan model arus tersebut dengan bentuk yang sebenarnya”

Pendekatan empiris

Untuk mengatasi keterbatasan ini, Thorrold dan rekan-rekannya melakukan pengukuran langsung jarak penyebaran ikan di lapangan. Mereka mengumpulkan sampel DNA dari ribuan ikan Badut dan Ikan kupu-kupu dewasa di seluruh teluk Kombe, Papua Nugini pada tahun 2009 dan 2011. Seluruh proses pengambilan sampel dilakukan di bawah air dengan mengerahkan 30 tim sains. Mereka menghabiskan ribuan jam di SCUBA selama beberapa minggu di lapangan setiap tahunnya.

Ketika para ilmuan ini kembali ke laboratorium, mereka menggunakan analisis DNA induk dengan teknik skuensing untuk mencocokkan DNA ikan remaja dengan DNA induk berdasarkan sampel DNA dan lokasi pemijahan dan populasi. Dengan data tersebut, mereka dapat menentukan bahwa sebagian besar ikan badut remaja tinggal relatif dengan dengan tempat asal kemudian menetap pada jarak rata-rata 10-15 kilometer dari terumbu karang tempat asalnya. Ikan kupu-kupu tersebar lebih jauh, rata-rata berjarak 43-64 kilometer  sebelum akhirnya menetap di habitat baru mereka.

Manfaat Desain

Selain membantu menginformasikan desain kawasan konservasi, pengukuran sebaran ikan tersebut dapat membantu menguji kawasan konservasi untuk melakukan fungsi utamanya, yaitu melakukan perlindungan (konservasi). Secara teori, apabila ikan di dalam kawasan konservasi mengalami permasalahan(bencana) yang berujung kematian, maka kawasan tersebut dapat dihuni kembali oleh larva yang beasal dari kawasan lain dalam jaringannya. Thorrold dan rekannya telah berhasil melacak perpindahan larva dari suatu konservasi ke konservasi lainnya di area studi, yang akhirnya menyakinkan mereka bahwa adanya rescue efect pada kawasan konservasi yang kemungkinan bisa terjadi pada jaringan konservasi di dunia nyata

“Jika anda bisa melacak perpindahan larva dari satu konservasi ke tempat yang ditentukan, anda bisa memperkirakan seberapa banyak kontribusi konservasi ikan pada populasi ikan yang dieksploitasi di luar daerah konservasi”, menurutnya. “Dengan hal ini dapat membantu menyakinkan nelayan bahwa jaringan konservasi laut merupakan alat manajemen yang baik”.

Pekerjaan untuk Masa Depan

Menurut Thorrold, ketika terumbu karang terus mengalami tekanan dan stress dari perbuatan manusia, konservasi laut akan terus melakukan fungsinya sebagai alat pengelolaan yang penting. Dengan demikian, informasi hasil pengukuran langsung terhadap persebaran larva penting untuk didapatkan dan disebarkan ke wilayah perairan laut lainnya.

“Hal berikutnya yang sedang kami kerjakan adalah mengembangkan model bio-fisik, yaitu dengan menggabungkan hasil studi dari area yang berhasil kita teliti kemudian menggeneralisasikan hasil tersebut untuk kawasan terumbu karang di seluruh dunia.” Katanya. “Sumber daya untuk pengolaan kelautan terutama di daerah berkembang sangat terbatas, artinya kita perlu memaksimalkan peluang dari hasil wilayah konservasi yang berhasil dari penelitian ini. Wawasan ilmiah yang dimiliki oleh peneliti juga sangat penting sebagai upaya keberlanjutan untuk meningkatkan ekosistem terumbu karang dari perubahan iklim dan eksploitasi manusia.”

Sumber:

https://www.sciencedaily.com/releases/2017/05/170516114302.htm

Referensi Jurnal:

Glenn R. Almany dkk. Larva ikan tersebar di teritori terumbu karang. Ekologi Alam dan Evolusi, Mei 2017 DOI: 10.1038 / s41559-017-0148

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to Top