Prof. Rokhmin Dahuri: Sektor Akuakultur Seharusnya Menjadi Penolong Bagi Tenaga Kerja Baru

ASKARA –  Masyarakat Akuakultur Indonesia (MAI), Rabu (15/5), menggelar Webinar BincangMina dengan tema “Inovasi Biofarmaka Melawan Penyakit Ikan dan Udang”. Webinar membahas tentang inovasi-inovasi dari para ahli di Indonesia untuk mendukung kemajuan industri akuakultur.

Ketua Umum MAI, Prof. Dr. Ir. Rokhmin  Dahuri, MS menyatakan bahwa sektor akuakultur atau perikanan budidaya seharusnya bisa menjadi panasea atau penolong bagi sebagian besar permasalahan bangsa kita, termasuk membantu tenaga kerja baru setiap tahunnya.

“Pertama, secara ekonomi banyaknya pengangguran, kemiskinan dst. Itu karena pertumbuhan ekonomi kita selama 10 tahun terakhir hanya mampu 5 persen,” ujar Prof. Rokhmin Dahuri dalam sambutannya melalui zoom.

Untuk menolong tenaga kerja baru 3,5 juta (berusia 15-45 tahun) per tahun. Kalau pertumbuhan ekonomi hanya 5 persen, sementara pertumbuhan ekonomi pada era Presiden Jokowi hanya mampu menyerap 200 ribu orang per 1 persen pertumbuhan, berarti hanya 1 juta tenaga kerja.

“Padahal setiap tahun, anak-anak muda yang berumur 14 menjadi 15 tahun ada 3,5 juta. “Jadi setiap tahun kita defisit 2,5 juta,” sebut Guru Besar Pengelolaan Sumber Daya Pesisir dan Lautan – IPB University itu.

Bila dilihat statistik soal pengangguran atau pekerja informal sekarang 6 juta. Saat ini, sumbangan sektor akuakultur terhadap gross domestik atau pertumbuhan ekonomi hanya 1,25 persen. Sedangkan untuk kelautan dan perikanan secara keseluruhan hanya 2,85 persen.

Padahal. Prof. Rokhmin Dahuri mencontohkan dengan membuka usaha tambak udang seluas 100 ribu hektare per tahun saja dapat menyumbangkan 2 persen pertumbuhan ekonomi per tahun. “Itu baru 1 komoditas. Saat ini kita baru mampu 340 ribu hektar tambak udang, sementara India sudah hampir 1 juta,” katanya.

Prof. Rokhmin Dahuri menuturkan perikanan budidaya yang potensinya paling besar di Indonesia, tidak hanya menghasilkan sumber protein hewani meliputi budidaya ikan, krustasea, dan moluska, tetapi juga menghasilkan bahan mentah untuk industri farmasi hingga kosmetik.

“Malu sekali kita penghasil teripang terbesar tapi gamat kita impor dari Malaysia. Indonesia benar- benar mesin diesel yang sangat lambat sekali. Artinya memang hilirisasi atau pengolahan kita lemah. Kita demen atau senang jual barang mentah,” ujarnya.

“Hal ini akan terus saya ungkapkan, karena karena aspek lain jika dikembangkan maka daya tolong sektor kita ini terhadap permasalahan hidup bangsa banyak sekali selain pertumbuhan ekonomi, tenaga kerja, kedaulatan pangan, kedaulatan energi juga kita lakukan,” tandas Menteri Kelautan dan Perikanan Kabinet Gotong Royong Tahun 2001-2004 ini.

Prof. Rokhmin Dahuri meyakini, jika sektor ekonomi kelautan didayagunakan dan dikelola dengan basis inovasi ilmu pengetahuan dan teknologi serta manajemen yang benar dan berakhlak mulia, sektor kelautan akan jadi keunggulan komparatif Indonesia. “Ekonomi kelautan akan jadi keunggulan kompetitif yang mengantarkan Indonesia menjadi poros maritim dunia pada 2045,” tuturnya.

Berkat tingginya tuntutan produksi pangan dari perikanan, intensifikasi dianggap sebagai cara yang paling cepat untuk meningkatkan produksi. Bahan kimia seperti antibiotik menjadi sering digunakan untuk membasmi penyakit secara cepat tanpa melihat dampak jangka panjangnya. “Tetapi cara ini tidak bisa terus menerus dilakukan, perlu dipikirkan bagaimana caranya agar budidaya yang lebih aman bisa dilakukan,” kata Duta Besar Kehormatan Jeju Island dan Busan Metropolitan City itu.

Produk Herbal Untuk Akuakultur

Sementara itu, Guru Besar Universitas Mulawarman, Prof. Dr. Esti Handayani Hardi, S.Pi, M.Si menyampaikan, hampir semua bahan kimia yang digunakan di akuakultur bisa diganti dengan ekstrak tanaman. Lewat Bio Perkasa, produsen obat ikan di Kalimantan Timur, Prof Esti memproduksi beberapa herbal untuk akuakultur

“Penggunaannya akan lebih efektif apabila menggunakan beberapa bahan ekstrak secara bersamaan. Jamu ikan atau obat herbal ini juga bisa disinergikan secara linear dengan aplikasi probiotik,” sebut Prof Esti.

Lalu, Prof. Esti mengungkapkan, dari riset-riset laboratorium Universitas Mulawarman dan percobaan di lapangan selama bertahun-tahun sejak 2012 hingga  mendapat izin edar pada tahun 2021, akhirnya produk-produk herbal bisa dikomersialkan tersebut.

Produk obat ikan yang kini telah dipatenkan diantaranya, bioimun dan three in one (3 in 1) adalah obat antibakteri dan immunostimulan untuk ikan, sedangkan produk Biofeed sebagai bahan pakan ikan dan biostesi dalam mengurangi tingkat stres pada ikan.

Awalnya, Esti meneliti 21 jenis tanaman di Kaltim. Namun, hasil riset hanya tiga tanaman yang mengandung unsur memenuhi obat ikan. “Dari tiga bahan baku ini sudah diolah jadi empat produk yang sudah dipatenkan dan kini telah dipasarkan di pasar dokumestik,” jelas Prof Esti.

Empat produk tersebut antara lain, ekstrak temu kunci (Boesenbergia pandurata), ekstrak terung asam (Solanum ferox) dan lempuyang (Zingiber zerumbet) serta pakan tambahan berbasis terung asam untuk ikan air tawar.

Menurutnya, banyak yang telah meneliti pemanfaatan tanaman dari ekstraknya, serbuknya atau dengan difermentasi. Banyak pula cara yang bisa digunakan dalam memanfaatkan bagian tumbuhan untuk akuakultur.

“Namun berdasarkan hasil riset, saya menemukan bahwa proses ekstraksi adalah yang cukup efektif meningkatkan kandungan metabolit sekunder sekaligus meningkatkan efikasi dari komponen aktif yang diambil dari tanaman,” kata Sekretaris Korda MAI Kalimantan Timur.

Jelasnya, plant extract bisa bersifat sebagai antibakterial, antiviral, antijamur, antiparasit, dimana hampir seluruh patogen yang menginfeksi pada ikan maupun udang budidaya bisa diatasi. Meskipun patogen menginfeksi masuk sampai ke dalam tubuh atau bersifat obligat di lingkungan, tetap bisa dikendalikan. Obat alami ini juga bisa sebagai biokontrol patogen di dalam air yang bisa mengganggu kestabilan bioflok.

“Memilih bagian tumbuhan yang tepat, jenisnya, dan metodenya juga harus diperhatikan. Mau itu dari daun, buah, biji, kulit kayu, akarnya, atau minyaknya, metabolit sekunder yang nanti dihasilkan akan berbeda. Bisa jadi karena salah mengambil bagian tumbuhannya, efektivitasnya turun. Kemudian, karena target yang diambil adalah metabolit sekunder, sehingga proses ekstraksi, proses maserasi, dan pelarut yang digunakan harus tepat,” paparnya.

Kemudian, Prof Esti menunjukan hasil pengujian resistensi dari mikroba di laboratorium yang memperlihatkan adanya perubahan sifat dari bakteri vibrio. Sebelumnya, vibrio bisa dihambat dengan jenis antibiotik amoxicillin atau tetracycline, namun saat ini banyak sekali strain dari vibrio yang sudah resisten, tidak lagi bisa dicegah, dibunuh, atau dihambat pertumbuhannya dengan antibiotik.

“Tentu ini akan sangat berbahaya, bayangkan jika di akuakultur kita sudah tidak bisa lagi mengendalikan bakteri patogen. Sehingga kita perlu mengantisipasi supaya antimicrobial resistance tidak terjadi secara lebih masif pada akuakultur,” ucapnya..

Seharusnya, Prof. Esti memaparkan, penggunaan antibiotik memang sudah dialihkan kepada bahan-bahan alami. Sebagai konsumen, tentunya tidak ada yang mau memakan ikan yang ternyata mengandung banyak bahan kimia.

Riset ini tidak hanya screening atau mengetahui efek antibakterial dan imunostimulan dari tumbuhan saja, tetapi target riset kita adalah menghasilkan satu formulasi yang nanti bisa dikembangkan jadi obat alami. “Kita bisa memanfaatkan plant extract atau tanaman-tanaman yang ada disekitar kita,” jelas Prof. Esti.

Ketua Inkubator Bisnis MAI ituberharap MAI dapat menjadi “Kapal Induk” dalam pengembangan produk-produk Akuakultur dari para anggotanya. “Jadi ada potensi income buat MAI,” kata Prof. Esti.

Sumber : Askara.co

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to Top