Guru Besar Unmul Hadirkan Biofarmaka untuk Akuakultur

AQUAINDONESIA, Samarinda – Berkat tingginya tuntutan produksi pangan dari perikanan, intensifikasi dianggap sebagai cara yang paling cepat untuk meningkatkan produksi. Bahan kimia seperti antibiotik menjadi sering digunakan untuk membasmi penyakit secara cepat tanpa melihat dampak jangka panjangnya. Tetapi cara ini tidak bisa terus menerus dilakukan, perlu dipikirkan bagaimana caranya agar budidaya yang lebih aman bisa dilakukan.
Prof. Esti Handayani Hardi selaku Guru Besar Universitas Mulawarman sukses melahirkan Bio Perkasa, produsen obat ikan di Kalimantan Timur yang membuahkan beberapa produk herbal untuk akuakultur. Produk-produk herbal yang akhirnya bisa dikomersialkan tersebut merupakan buah dari riset-riset laboratorium Universitas Mulawarman dan percobaan di lapangan selama bertahun-tahun sejak 2012 hingga akhirnya mendapat izin edar pada tahun 2021.
“Penggunaan antibiotik memang sudah seharusnya dialihkan kepada bahan-bahan alami. Sebagai konsumen, tentunya tidak ada yang mau memakan ikan yang ternyata mengandung banyak bahan kimia. Riset ini tidak hanya screening atau mengetahui efek antibakterial dan imunostimulan dari tumbuhan saja, tetapi target riset kita adalah menghasilkan satu formulasi yang nanti bisa dikembangkan jadi obat alami. Kita bisa memanfaatkan plant extract atau tanaman-tanaman yang ada disekitar kita,” tuturnya melalui Zoom, Rabu (15/5/2024).
Guru Besar Unmul ini juga menunjukan hasil pengujian resistensi dari mikroba di laboratorium yang memperlihatkan adanya perubahan sifat dari bakteri vibrio. Sebelumnya, vibrio bisa dihambat dengan jenis antibiotik amoxicillin atau tetracycline, namun saat ini banyak sekali strain dari vibrio yang sudah resisten, tidak lagi bisa dicegah, dibunuh, atau dihambat pertumbuhannya dengan antibiotik.
“Tentu ini akan sangat berbahaya, bayangkan jika di akuakultur kita sudah tidak bisa lagi mengendalikan bakteri patogen. Sehingga kita perlu mengantisipasi supaya antimicrobial resistance tidak terjadi secara lebih masif pada akuakultur,” ucapnya dalam webinar terkait biofarmaka bersama Masyarakat Akuakultur Indonesia (MAI) dan Minapoli.
Masih menurut Prof. Esti, banyak yang telah meneliti pemanfaatan tanaman dari ekstraknya, serbuknya atau dengan difermentasi. Banyak pula cara yang bisa digunakan dalam memanfaatkan bagian tumbuhan untuk akuakultur. Namun berdasarkan hasil risetnya sendiri, ia menemukan bahwa proses ekstraksi adalah yang cukup efektif meningkatkan kandungan metabolit sekunder sekaligus meningkatkan efikasi dari komponen aktif yang diambil dari tanaman.
Plant extract bisa bersifat sebagai antibakterial, antiviral, antijamur, antiparasit, dimana hampir seluruh patogen yang menginfeksi pada ikan maupun udang budidaya bisa diatasi. Meskipun patogen menginfeksi masuk sampai ke dalam tubuh atau bersifat obligat di lingkungan, tetap bisa dikendalikan. Obat alami ini juga bisa sebagai biokontrol patogen di dalam air yang bisa mengganggu kestabilan bioflok.
“Memilih bagian tumbuhan yang tepat, jenisnya, dan metodenya juga harus diperhatikan. Mau itu dari daun, buah, biji, kulit kayu, akarnya, atau minyaknya, metabolit sekunder yang nanti dihasilkan akan berbeda. Bisa jadi karena salah mengambil bagian tumbuhannya, efektivitasnya turun. Kemudian, karena target yang diambil adalah metabolit sekunder, sehingga proses ekstraksi, proses maserasi, dan pelarut yang digunakan harus tepat,” lanjutnya.
Lebih lanjut dibahas, hampir semua bahan kimia yang digunakan di akuakultur bisa diganti dengan ekstrak tanaman. Penggunaannya akan lebih efektif apabila menggunakan beberapa bahan ekstrak secara bersamaan. Jamu ikan atau obat herbal ini juga bisa disinergikan secara linear dengan aplikasi probiotik. Anggi

Sumber : https://www.aquaindonesia.id

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to Top