Peluang Perikanan pada 2020

Ketidakpastian ekonomi global tentu juga akan berdampak pada sektor perikanan. Paling tidak ada dua hal penting yang perlu dicatat sebagai yang paling berpengaruh terhadap perikanan pada 2020: dampak dari omnibus law dan efek virus corona.

Omnibus law perikanan sebagai instrumen penciptaan lapangan kerja perikanan masih terus digodok. Ini tentu sangat dinanti oleh pelaku usaha perikanan dan rakyat Indonesia. Ada beberapa hal dalam proses penyusunan omnibus law yang perlu diperhatikan, yaitu ketiadaan naskah akademis, batasan indikator keberhasilan, dan proses adaptasi kelembagaan pemerintah.

Dalam setiap proses penyusunan peraturan perundang-undangan, kita selalu memerlukan dukungan ilmiah sebagai bentuk kebijakan berbasis sains. Namun, dalam proses penyusunan omnibus law saat ini, kita mendapati satu lompatan yang mengisyaratkan percepatan. Meski demikian, saya berharap semua proses adaptasi tetap berada dalam koridor pembangunan yang berkelanjutan.

Dalam investasi perikanan, yang diperlukan sebenarnya bukan sekadar sistem informasi izin layanan cepat (Silat). Hal ini bisa ditempatkan sebagai bagian dari perizinan berusaha terintegrasi secara elektronik (OSS). Yang paling penting adalah adanya kepastian investasi perikanan, yang dimulai dengan kepastian ruang dan alokasi atau kuota.

Proses penyusunan omnibus law yang utama dalam sektor perikanan dan kelautan adalah memastikan tidak terjadinya tumpang-tindih ruang. Undang-Undang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil menggunakan istilah zonasi kawasan pesisir. Undang-Undang Perikanan mengenal istilah ruang sebagai wilayah pengelolaan perikanan (WPP). Undang-Undang Lingkungan Hidup mengenal konsep ruang sebagai ekoregion. Adapun Undang-Undang Kelautan mengenal ruang yang disebut kawasan strategis nasional dan kawasan strategis nasional tertentu. Semua ruang itu memiliki tingkat tumpang-tindih yang tinggi, bahkan lebih rumit dalam pengoperasiannya saat diamanatkan kepada masing-masing badan pengelola yang sering kali tidak memiliki pemahaman yang sama.

Dalam setiap pembagian zona pada alokasi ruang tersebut, terjadi irisan antara konservasi, kawasan perikanan tradisional, jalur transportasi, area strategis nasional, dan ruang budi daya. Alokasi ruang ini yang seharusnya diselesaikan lebih dulu oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan sebelum menyelesaikan berbagai hal teknis lainnya.

Omnibus law perikanan dan kelautan harus diawali dengan satu peta investasi perikanan. Dalam hal ini, WPP bisa dipertimbangkan sebagai master map investasi perikanan. Selanjutnya, ia diturunkan menjadi alokasi ruang dan kuota serta alokasi izin dan perikanan, baik tangkap maupun budi daya. Zona ekonomi eksklusif (ZEE) bisa menjadi zona tersendiri yang tinggal dioptimalkan. Selama peta master belum disiapkan, daerah akan sulit mengadaptasi atau akan menyebabkan terjadinya risiko sosial masyarakat.

Masalah kedua adalah ancaman virus corona. Dalam kejadian SARS pada 2003, sebagian pasar perikanan kita terkena dampaknya, terutama ekspor kerapu. Namun, melihat agresivitas virus corona saat ini, bukan tidak mungkin usaha perikanan kita mengalami perlambatan dalam ekspor ke Cina untuk waktu lebih lama. Berdasarkan data Kementerian Kelautan pada 2018, Cina merupakan pasar utama udang, rajungan-kepiting, cumi-sotong, dan gurita serta rumput laut yang cukup tinggi. Ekspor udang mencapai 1,89 persen dari total ekspor, rajungan-kepiting 6,58 persen, cumi-sotong-gurita 42,72 persen, dan rumput laut 73,46 persen. Persentase ekspor ini belum termasuk kerapu, lobster, dan jenis grouper lainnya.

Efek corona bukan soal konsumsi, melainkan transportasi yang berisiko tinggi tertular virus corona. Walaupun ada stok, ada kemungkinan pengiriman ditahan sampai kondisi memungkinkan. Ketidakpastian berakhirnya serangan virus corona makin meningkatkan ketidakpastian usaha perikanan kita.

Untuk perlindungan konsumen, pengecekan ikan impor sebelum disebar sebagai bahan baku olahan tetap menjadi prioritas. Langkah ini bertujuan untuk memastikan bahwa ikan impor dari Cina bebas virus. Langkah bijak yang sebaiknya dilakukan adalah mengganti bahan baku impor dengan bahan baku lokal.

Namun target ekonomi perikanan tentu juga mengalami ketidakpastian. Walaupun sudah ditekankan bahwa kontribusi tangkap 8,02 juta ton pada 2020 dengan nilai ekspor US$ 6,1 miliar, karena belum pastinya alokasi ruang, kuota, dan pasar ekspor, hal ini dapat menyebabkan ketidakpastian kelanjutan investasi perikanan.

Untuk memastikan usaha perikanan berada dalam koridor yang terarah, portofolio yang perlu dibangun adalah investasi berbasis spasial. Kebijakan Satu Peta harus menjadi prioritas. Sejalan dengan itu juga perlu disiapkan neraca ekonomi WPP yang mengintegrasikan kegiatan usaha tangkap, budi daya, konservasi, wisata, garam, dan pengolahan. Untuk memperkuatnya, sistem pendataan perikanan harus real time, bukan lagi best available data. Selanjutnya adalah memperkuat pasar dalam negeri dengan mendorong konsumsi ikan dan diversifikasi produk perikanan.

Dengan cara ini, peluang perikanan kita sebenarnya bisa terukur secara nasional dan global. Kita juga dapat memastikan perikanan punya kekuatan ekonomi yang memang dapat diandalkan dan bersaing daripada sekadar menunggu pasar yang belum tentu ada jaminan kapan pulihnya.

 

Yonvitner

Dosen Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB

Sumber: https://kolom.tempo.co/

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to Top